Jakarta –
Hari ini merupakan hari terakhir bagi Wajib Pajak (WP) untuk mencocokkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini sejalan dengan kebijakan penggunaan NIK sebagai NPWP setiap warga negara mulai besok Senin (7/1/2024).
NIK akan diimplementasikan sebagai NPN setiap warga. Oleh karena itu, NPWP 15 poin (NPWP lama) tidak diperlukan lagi. Saat ini, baik perorangan, korporasi, maupun instansi pemerintah non-residen akan menggunakan NPWP 16 digit.
Proses ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 136 Tahun 2023 tentang Perubahan PMK No. 112/PMK.03/2022 tentang NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Badan Pemerintah.
Jika masyarakat terlambat dan tidak membandingkan NIK dengan NPWP, ada konsekuensi atau sanksinya. Sanksi dimaksudkan untuk menghalangi wajib pajak mengakses layanan perpajakan dan layanan lain yang memerlukan NPWP.
Hal ini pertama kali diumumkan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) DJP Dwi Astuti. Pasalnya, ke depan seluruh layanan DJP bagi wajib pajak daerah hanya bisa dilakukan melalui NIK.
“Wajib Pajak yang belum melaksanakan rekonsiliasi NIK-NPWP pada saat pelaksanaan penuh akan kesulitan dalam mengakses layanan perpajakan, termasuk layanan administrasi lainnya yang memerlukan NPWP, karena semua layanan tersebut akan menggunakan NIK di NPWP,” kata mereka. Dwi i detikcom, beberapa waktu lalu.
Hal itu tertuang dalam PMK 112/2022. Kegagalan mencocokkan NIK dengan NPWP akan menimbulkan kesulitan bagi wajib pajak dalam mengakses layanan. Layanan-layanan tersebut meliputi: (1) layanan pencairan dana pemerintah; (2) Menyediakan dan memberikan layanan; (3) Perbankan dan jasa keuangan lainnya.
Kemudian (4) pelayanan pendirian usaha dan perizinan usaha; (5) Pelayanan administrasi negara, kecuali yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan (6) layanan lain yang memerlukan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak. Apakah semua orang wajib pajak?
Sebaliknya, NIK menjadi NPWP bukan berarti seluruh pemegang KTP harus membayar pajak. Hal ini pertama kali dibenarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada tahun 2021 dalam catatan detikcom.
“Kesalahan dan penyesatan yang paling banyak terjadi adalah pemerintah dan DPR sepakat bahwa setiap orang wajib membayar pajak, bahkan yang punya NIK sekalipun, pelajar dan berpenghasilan sekalipun, harus membayar pajak karena mereka pembayar pajak,” ujarnya. kata Menteri Sri Mulyani Indrawati pada Desember 2021.
Ketentuan penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2021 tentang Revisi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dijelaskan, pajak akan dibayarkan jika penghasilan tahunan lebih besar dari penghasilan yang dikecualikan (PTKP) atau jika Anda seorang pelaku usaha sesuai dengan Peraturan Umum Nomor 1 Tahun 2018. 23/2018.
Saat ini pajak penghasilan orang pribadi (PKP) dikenakan bagi mereka yang berpenghasilan Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan. Jadi orang yang gajinya di bawah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun tidak akan dikenakan pajak.
Penerapan NIK sebagai NPWP merupakan langkah penting bagi pemerintah untuk mewujudkan administrasi perpajakan yang lebih efisien dan efektif. Tujuan utamanya adalah untuk memperkenalkan sistem nomor identifikasi nasional (SIN), dimana satu nomor identifikasi digunakan untuk berbagai keperluan administratif, termasuk perpajakan.
Sistem SIN ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan dengan mengintegrasikan data perpajakan ke dalam sistem terpusat. Dengan begitu, negara dapat dengan mudah dan akurat memantau dan mengendalikan pajak masyarakat.
Dalam jangka panjang, kami berharap proses ini dapat meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat dengan sistem yang mudah diakses dan dipahami. Selain itu, integrasi data memungkinkan dilakukannya penuntutan terhadap wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya.
Bagaimana cara membandingkan NIK dengan NPWP? Klik di halaman berikutnya. (shc/kil)