Jakarta –
Badan Pusat Statistik (BPS) telah menerbitkan laporan terbaru mengenai tidak adanya anak di kalangan perempuan pada tahun 2023. Hasil survei BPS menunjukkan bahwa sekitar 71.000 perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun di Indonesia tidak ingin memiliki anak.
Jumlah anak yang tidak memiliki anak di kalangan perempuan Indonesia telah meningkat selama empat tahun terakhir. Meskipun terjadi penurunan pada awal pandemi COVID-19, dengan tingkat prevalensi berkisar antara 6,3 hingga 6,5, trennya meningkat lagi pada tahun-tahun setelah pandemi.
Tasia (20), mahasiswi Universitas Depok, mengungkapkan alasannya juga berencana untuk tidak memiliki anak. Tasia mengaku ragu bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya kelak. Menurutnya, mempunyai anak adalah tanggung jawab yang besar.
“Karena masalahku belum terselesaikan dan aku takut aku tidak menyadarinya, makanya aku melampiaskannya pada anak-anakku,” jelas Tasya (20) kepada detikcom, Selasa (11/11/2024).
“Saya belum siap mental, itu urusan hidup ya? Kepribadian anak dibentuk oleh anak, dan orang tuanya membantu. Jadi saya belum siap, saya tidak yakin bisa,” imbuhnya. Tasia.
Hal tersebut juga didukung oleh perempuan lainnya, Audrey (21), yang merasa belum siap secara psikologis menjadi orang tua. Apalagi akhir-akhir ini sering terlihat banyak kasus penelantaran anak.
Daripada memilih untuk hamil dan punya bayi, Audrey malah mempertimbangkan untuk mengadopsi anak suatu hari nanti.
“Sederhana saja, karena aku takut melahirkan. Aku terus memikirkan masa depan. Kalau aku beruntung bisa hamil dan melahirkan anak, skenario terburuknya adalah aku meninggal saat melahirkan. Apa yang aku pikirkan?” lebih lanjut tentang apa yang akan terjadi pada anak saya dan anak saya.” Tentang suamiku,” kata Audrey.
“Saya tidak ingin merasa bersalah di kemudian hari jika ada orang lain yang menjaganya, tapi skenario terburuknya adalah mereka berakhir menjadi anak-anak yang tidak patuh. Lihatlah lingkungannya, jika seorang anak malah berbuat sesuatu yang di luar kebiasaannya, pertama-tama dia akan menjadi anak yang tidak taat. hal yang mereka lakukan menjadi sasaran kekerasan orang tua, saya rasa saya belum siap menjadi orang tua yang hebat, (setidaknya saat ini),” tambah Audrey.
Audrey mengatakan, faktor memilih tidak mempunyai anak bukan karena orang tersebut terlahir dalam keluarga yang berantakan, karena Audrey sendiri memiliki keluarga yang akan mendukung setiap keputusannya selama itu baik.
Namun, Audrey juga menyadari bahwa pandangannya tentang tidak memiliki anak dapat berubah seiring berjalannya waktu, bergantung pada berbagai faktor di masa depan.
Sementara itu, Zaza (26), seorang guru asal Jember, juga berpendapat serupa. Meski mengaku belum memutuskan untuk tidak memiliki anak, ia juga mengaku khawatir jika tidak bisa membagi waktu bersama anak-anaknya sambil fokus berkarier.
“Penyebabnya karena trauma pengasuhan anak. Saya ingin menjadi perempuan pekerja, tapi agak sulit menjadi perempuan pekerja sekaligus mengasuh anak,” kata Zhaza.
Zaza menjelaskan, dirinya masih ingin menikmati kehidupannya saat ini dan khawatir anak-anaknya tidak akan diasuh sepenuhnya olehnya. Menurutnya, hal tersebut bisa berdampak pada anak-anaknya di kemudian hari, sehingga membuat mereka kurang merasakan kasih sayang dan waktu bersama orang tuanya. Tonton video “Veronica Tan bereaksi terhadap meningkatnya tren tidak memiliki anak” (naf/naf)