Jakarta –

Industri tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor penghasil pendapatan terbesar di negara ini. Tak hanya itu, industri tembakau berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja, mulai dari petani hingga pedagang.

Namun, pemerintah berniat menerapkan aturan terpadu mengenai kemasan rokok tidak bermerek yang dituangkan dalam rancangan peraturan Menteri Kesehatan (Kemenkes) Resolusi Pemerintah Nomor 06. 28 Tahun 2024. Beberapa pihak menilai penerapan aturan ini bisa berujung pada pemutusan kontrak kerja (PHK).

Andri Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institut Ekonomi dan Keuangan (INDEF), mengatakan peraturan tersebut dapat berdampak pada 2,29 juta pekerja. Jika kita melihat angka angkatan kerja industri tembakau pada tahun 2019, jumlah tersebut setara dengan 32% dari total angkatan kerja.

“Jadi kalau kita lihat bersama, total penduduk bekerja 1,6%. Kalau mengacu pada angkatan kerja industri tembakau tahun 2019 yang dirilis Kementerian Perindustrian saat itu, sekitar 32% yang terdampak. Jadi cukuplah. “Cukup. Besar sekali,” kata Andri dalam forum eksekutif detikcom, “Mengikuti pertumbuhan ekonomi 8 persen: tantangan industri tembakau dalam kebijakan baru” di Auditorium Bank Mega Tower, Jakarta Selatan, Selasa (5/11/2024).

Selain itu, kata Andri, aturan tersebut juga berdampak pada perekonomian Indonesia, termasuk pendapatan negara.

Oleh karena itu, Indef menghitung jika RUU Permenkes itu diterapkan maka akan mencapai Rp308 triliun saja. Itu baru dari dampak ekonominya saja, ujarnya.

Di sisi lain, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto mengatakan, tindakan pengetatan yang dilakukan pemerintah bisa menurunkan tingkat produksi. Ujung-ujungnya berujung pada pemutusan kontrak kerja (HK).

“Iya industri bingung dengan RP 28. Apalagi RPMK terus. Karena bisa menurunkan pasti bisa menurunkan produksi. Kalau produksi dikurangi berarti jam kerja berkurang. Kalau pekerja bekerja sambil mendistribusikan rokok, “Iya, sektor ini adalah bingung dengan PP 28. Sistemnya grosir,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Ketua FPS RTMM SPSI Sudarto. Ia menilai industri tembakau sangat rentan terhadap peraturan fiskal dan non-fiskal baru. Menurut dia, pengaturan ini bisa memberikan tekanan pada industri tembakau. Ketika industri mana pun mengalami depresi, hal ini berdampak pada angkatan kerja, seperti rendahnya pendapatan dan bahkan PHK.

“Bagaimana ini bisa terjadi? Sekali lagi, seperti yang disebutkan oleh teman-teman petani kita sebelumnya, mayoritas anggota PDB kita adalah petani tembakau kretek tangan, yang juga memiliki sistem pendapatan kontrak. Jadi, jika lapangan kerja hilang, upahnya akan lebih atau kurang. .seperti ini,” katanya.

Untuk memitigasi hal tersebut, pihaknya melakukan berbagai upaya komunikasi dengan pemerintah dengan mengirimkan surat ke Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Tenaga Kerja. Namun partainya tidak ikut serta hingga RUU Derivatif diperdebatkan.

Terakhir, ia bersama buruh lainnya melakukan demonstrasi di depan gedung Kementerian Kesehatan pada 10 Oktober. Dalam kesempatan tersebut, pihaknya berkesempatan bertemu dengan perwakilan Kementerian Kesehatan. Alhasil, Kementerian Kesehatan memperbolehkan pelibatan pekerja dalam peraturan turunan.

Sementara itu, Kusnasi Mudi, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Pabrik Tembakau Indonesia, mengatakan industri tembakau mempunyai dampak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Mulai dari petani di sektor manufaktur, pabrik, pekerja pabrik di sektor manufaktur, hingga pedagang di sektor manufaktur.

“Selain kepentingan ekonomi, juga berdampak sosial terhadap tenaga kerja, sektor ketenagakerjaan, dan produsen tembakau,” kata Kusnasi.

Oleh karena itu, Kusnan prihatin dengan Keputusan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, khususnya bagi pekerja dan petani tembakau.

“Kalau begini terus kawan-kawan asosiasi pedagang pasar, pengecer, buruh, semuanya, bukan hanya hulu, petani saja. Kalau dikaitkan dengan hilir, otomatis ada petani. Sekarang petani anyelir juga ada,” dia menunjukkan.

Selain itu, Kusnasi menilai pemerintah perlu menetapkan regulasi dan aturan yang tidak memberatkan industri tembakau, salah satunya RUU Barang Strategis. Dengan begitu sektor tersebut bisa berkontribusi secara maksimal.

Menurutnya, industri tembakau merupakan salah satu industri yang paling padat karya namun teregulasi. Peraturan yang sedang dibahas, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan rancangan peraturan Menteri Kesehatan, sangat memberatkan.

“Perkuat produsen tembakau, termasuk industri tembakau, dengan serangkaian regulasi yang akan memberikan ruang bernapas bagi industri tembakau dan produsen tembakau, bukan kontrol dan tekanan,” kata Kusnasi.

“Saya kira rokok ini tidak cocok, tapi harusnya masuk dalam produk strategis nasional,” lanjutnya.

Tonton juga videonya: Cukai Rokok, Peluang dan Tantangan Penghapusan Tembakau Ilegal

Saksikan video “Tantangan dan peluang industri tembakau dalam kebijakan baru” (n/n)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *