Jakarta –
Istilah Trumpflasi kembali ramai diperbincangkan di masyarakat menjelang pemilu presiden AS 2024. Banyak pihak menilai sejumlah tindakan Trump jika terpilih bisa memicu lonjakan inflasi AS.
Dikutip dari Investopedia, Sabtu (27/7/2024): Trumpflasi merupakan istilah yang merujuk pada kekhawatiran akan kenaikan inflasi pada masa kepemimpinan Donald Trump. Istilah ini digunakan oleh para ekonom dalam pernyataannya kepada berbagai media selama pemilihan Trump pada November 2016.
Secara keseluruhan, tingkat inflasi rata-rata pada masa kepresidenan Donald Trump adalah 1,9%, jauh lebih rendah dibandingkan pada masa kepresidenan Joe Biden, yang rata-ratanya sebesar 5,4%. Namun, beberapa investor terkemuka meyakini potensi inflasi ke depan akan lebih besar jika Trump memenangkan pemilu kali ini.
Menurut Yahoo Finance, kebijakan ini awalnya melibatkan penerapan tarif 10% untuk semua impor dan tarif 60% untuk impor dari Tiongkok. Peterson Institute for International Economics memperkirakan hal ini akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga hingga $1.700, atau sekitar R27,7 juta, per tahun (nilai tukar R16.300).
Selain itu, Trump juga berencana memberikan Gedung Putih kendali lebih besar terhadap bank sentral Amerika, Federal Reserve. Situasi ini menciptakan prospek yang, jika benar-benar terealisasi, akan mengkhawatirkan pasar keuangan.
Selain itu, Trump juga ingin memperpanjang serangkaian program pemotongan pajak yang telah berjalan sejak tahun 2017 dan akan berakhir pada akhir tahun 2025. Perpanjangan ini berpotensi meningkatkan utang negara dari $4 triliun menjadi $5 triliun. Dampak bagi Indonesia
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center for Economic and Legal Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan Trumpflasi setidaknya menimbulkan empat ancaman bagi Indonesia. Kebijakan proteksionis Amerika terhadap produk Tiongkok akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
“Selain itu, pangsa ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 23% dari total ekspor nonmigas senilai $29,9 miliar pada Januari-Juni 2024. Ekspor bahan baku industri ke China dan Amerika Serikat,” kata Bhima saat dihubungi detikcom, Sabtu (27 Juli 2024).
Kedua, terdapat risiko kenaikan suku bunga jangka panjang oleh Federal Reserve, yang berarti suku bunga akan naik lebih lama untuk membatasi Trumpflasi. Akibatnya, suku bunga tinggi di mana-mana. Ketiga, ancaman terhadap industri proses terkait dengan ekosistem kendaraan listrik.
Keempat, perburuan investor terhadap aset-aset safe-haven seperti emas dan dolar AS menyebabkan devaluasi rupee. Hal ini berimplikasi pada inflasi barang impor atau barang retail di Indonesia menjadi lebih mahal akibat melemahnya nilai tukar rupiah.
“Kemungkinan terjadinya Trumpflasi cukup tinggi mengingat kebijakan Trump yang agresif dalam pemotongan pajak, menghambat transisi ke kendaraan listrik, dan gelombang proteksionisme terhadap produk Tiongkok. “Jika kita mencermati terakhir kali Trump menjadi presiden, sebagian besar janji kampanyenya langsung diimplementasikan pada hari pertamanya menjabat,” ujarnya.
Sementara itu, Esther Sri Astuti, direktur eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF), berpendapat bahwa Indonesia harus dapat memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya. Namun dalam hal ini, produk Indonesia harus berdaya saing tinggi.
Artinya menciptakan produk yang dapat menggantikan produk China dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah, untuk mencegah produk China masuk ke AS dan memungkinkan produk Indonesia masuk ke AS, kata Esther saat dihubungi.
Melihat kembali masa Trump sebagai Presiden AS pada tahun 2017 hingga 2021, terjadi perang dagang antara AS dan Tiongkok. Namun, ketika produk Tiongkok terhambat saat itu, mereka digantikan oleh produk Vietnam. “Tetapi apa yang akan menggantikan produk-produk Vietnam? Produk Tiongkok masuk ke Vietnam dan diekspor dari Vietnam ke AS karena Vietnam sudah memiliki perjanjian dagang dengan AS,” ujarnya. (lunas/lunas)