Jakarta –
Nasib bangunan bersejarah di Jakarta sempat dipertanyakan saat ibu kota berpindah ke Kalimantan Timur. termasuk Istana Merdeka.
Pengendali IKN Ridwan Kamil memastikan perpindahan pemerintah ke IKN akan berdampak pada kemajuan gedung-gedung kosong, khususnya perkantoran lama.
“Sekarang ada UU IKN, tinggal kita gerakkan dan sesuaikan. Itu keputusan mahal. Nanti ada ratusan rumah kosong,” kata Ridwan Kamil kepada detikProperti, Jumat (7/6/2024).
RK mengatakan, Istana Merdeka yang terletak di Jalan Merdeka Utara dan menghadap taman nasional seluas 6,8 hektare itu ia bahas bersama Presiden Joko Widodo. Salah satu ide yang muncul adalah menjadikan Istana Merdeka menjadi museum atau kantor pemerintahan Jakarta yang baru.
“Saya cuma bilang, Pak Jokowi tanya, ‘Kang Emil, Istana Merdeka mau kita pindah apa? Cuma jadi museum?’ “Yah, salah satu pilihannya pak, atau jadi kantor (pemerintah) Jakarta berikutnya pak, bisa saja kalau ibu kotanya pindah,” kata RK.
RK menyatakan, kantor Pemprov DKI Jakarta tidak lebih dari rumah dinas Gubernur Jawa Barat. Karena itu, dia meminta Istana Merdeka dijadikan kantor baru Pemprov DKI.
Dilansir situs Sekretaris Negara, Istana Merdeka dibangun seiring dengan kebangkitan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1800. Bangunan ini dirancang oleh arsitek Drossares, pada tahun 1873, pada masa pemerintahan Gubernur Louden. Bangunan ini selesai dibangun pada tahun 1879, pada masa pemerintahan Walikota Johan Willem van Landsbarge. Saat itu, bangunan tersebut bernama Istana Gambir.
Sejauh ini tercatat 20 orang yang tinggal di Istana Merdeka: 15 orang Presiden India Timur Belanda, 3 orang Bapak Saiko Syikikan (Panglima Tentara Jepang XVI di Jawa), 2 orang Bapak Presiden Indonesia. Namun, dari 15 presiden Belanda, hanya 4 yang masih hidup; Yang lain memilih Istana Bogor. Presiden Indonesia yang sebenarnya adalah Presiden Soekarno. Pertama, Presiden keempat Abdurrahman Wahid, dan Presiden ketujuh Joko Widodo sebelum Bapak akan berada di Istana Bogor.
Pada awal mula pemerintahan Negara Republik Indonesia, Yang Mulia menyaksikan penandatanganan dokumen pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Negara Republik Indonesia diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan Kerajaan Belanda diwakili oleh AHJ. Lovink, wakil mahkota tertinggi di Indonesia. Penandatanganan dokumen NKRI berlangsung serentak, baik di Belanda (di Amsterdam: pukul 10.00) maupun di Indonesia (di Jakarta dan Yogyakarta: pukul 16.00).
Nama Istana Merdeka berasal dari penandatanganan dan merujuk pada upacara pesan pengakuan kedaulatan NKRI yang dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah putih sebagai pengganti bendera nasional Belanda dan bendera Belanda. lagu kebangsaan. Indonesia Raya diputar, lalu teriakkan “Merdeka, Merdeka, Merdeka”.
Keputusan yang diumumkan Presiden Soekarno adalah mengganti nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara.
Keesokan harinya (28 Desember 1949), Presiden RI Soekarno beserta keluarganya datang dari Ibu Kota Jakarta dari Yogyakarta, menduduki Istana Merdeka untuk pertama kalinya. Sebelumnya Istana Gambir pernah ditempati oleh Dr. Hubertus J. Van Mook, Gubernur sampai tahun 1948, dan kemudian oleh Dr.L.M.J. Beel, Wakil Perdana Menteri Mahkota. Sejak saat itu, perayaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada tahun 1950.
Simak Video “Dengan Jokowi di Istana, Zulhas Tolak Bicara Soal Kursi” (fem/fem)