Jakarta –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis temuannya mengenai praktik pungutan liar (pungli) terhadap wisatawan di Kepulauan Raja Ampat, barat daya Papua. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada oknum yang memeras uang wisatawan.
Hal itu diketahui KPK saat beroperasi di Raja Ampat. Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan, setiap kapal wisata menuju lokasi penyelaman, ada yang meminta uang sebesar 100.000 hingga 1 juta rupiah per perahu.
Setidaknya ada 50 kapal yang tiba di wilayah Wayag sendiri, sehingga potensi penerimaan pungutan liar tersebut bisa mencapai Rp50 juta per hari dan Rp18,25 miliar per tahun, kata Ketua Satgas Korsup Distrik 5 KPK Dian Patri.
Dean menjelaskan bahwa pungutan liar itu datang dalam bentuk uang yang harus dibayarkan masyarakat kepada hotel di pulau itu untuk mendapatkan tanah. Selain itu, belum adanya kejelasan mengenai peraturan mengenai pengelolaan sampah di restoran.
Dalam konteks ini, KPK terus mendorong Pemerintah Raja Ampat untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut dengan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan masyarakat setempat, ujarnya.
Dean mengatakan, KPK sedang berupaya menyelesaikan beberapa permasalahan. Salah satunya membantu pemerintah daerah (Pemdas) dalam pengendalian pajak dan retribusi untuk menyelamatkan keuangan daerah.
Pengendalian harus dilakukan secara masif, kata Dean. Katanya, hal itu dilakukan untuk menghindari kesenjangan yang besar pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kami memberikan bantuan langsung di berbagai pulau di Raja Ampat untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha, mengatur perpajakan daerah, dan memastikan sistem pemungutan pemerintah daerah,” jelas Dian.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Dian mengatakan pada tahun 2023, PAD di Raja Ampat hanya mencapai 4,15%, dan pajak tidak melebihi 1,08%. pemerintah daerah dan sektor swasta.
“Upaya pencegahan kebocoran pajak penting dilakukan untuk memaksimalkan penerimaan pajak daerah dan mencegah potensi kerugian nasional. Tentu saja diperlukan pengawasan agar tidak terjadi lagi kebocoran pajak daerah melalui mekanisme pemuasan, perpajakan ilegal atau kemungkinan manipulasi data.” msl/msl). )