Jakarta –

Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 sempat membuat heboh masyarakat. Kebijakan ini dinilai akan menekan daya beli masyarakat melalui kemungkinan kenaikan harga.

Sementara itu, kenaikan PPN sebesar 12% akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 atau Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

UU HPP dibuat dengan aturan yang bersifat catch all, artinya satu aturan berlaku untuk beberapa landasan kebijakan. Dalam konteks ini, UU HPP memuat serangkaian kebijakan perpajakan, yaitu kenaikan PPN secara bertahap menjadi 12%.

Kode tersebut memuat enam kelompok materi pokok dengan 9 bab dan 19 pasal yang saat ini menggantikan beberapa pasal yang diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan, antara lain Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Nilai. Penambahan UU Perpajakan dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU BTW), UU Cukai, Skema Pengungkapan Sukarela (PPS), dan pemberlakuan Pajak Karbon.

Terkait langkah spesifik perubahan kebijakan PPN, tercatat kenaikan PPN akan dilakukan secara bertahap dari sebelumnya 10% saat itu. Kenaikan pertama akan diterapkan mulai April 2022 yakni dari sebelumnya 10% menjadi 11%. Kemudian akan naik dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Pemerintah sendiri sudah memastikan bahwa PPN akan naik sebesar 12% pada tahun depan.

Berikut rangkuman perjalanan Hukum HPP:

Panja dipimpin PDIP

Pada awal kemunculan UU HPP, pembahasannya dibahas dalam Panitia Kerja RUU (Panja) yang saat itu diketuai oleh Dolfie Othniel Fredric Palit. Saat itu, Dolfie menjabat Wakil Ketua Komisi XI Fraksi PDIP. RUU tersebut diusulkan langsung oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dibahas DPR pada Mei 2021.

Dolfie selaku Ketua Panja memberitahukan hal tersebut kepada Komisi

8 Kelompok DPR menyetujuinya

Saat itu, delapan partai sepakat membawa RUU tersebut ke sidang musyawarah DPR untuk mendapat persetujuan. Rinciannya, Seksi PDIP, Seksi Partai Golkar, Seksi Partai Gerindra, Seksi Partai NasDem, Seksi PKB, Seksi Partai Demokrat, Seksi PAN, Seksi PPP mengesahkan UU HPP. Hanya kelompok PKS yang menolak RUU HPP menjadi undang-undang.

Terakhir, Rapat Debat DPR RI ke-7 Masa Sidang I Masa Sidang 2021-2022 Tahun 7 Oktober 2021 menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Pokok-pokok Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang.

Oleh karena itu, UU HPP sendiri baru resmi dikeluarkan oleh pemerintah yang masih dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 29 Oktober 2024, tepatnya menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (HPP). .

Politisi Rusia saling melempar bola api

Kini elite politik kembali melontarkan bola api atas penetapan UU HPP yang menjadi dasar kenaikan PPN menjadi 12%. Awalnya, hal ini terjadi karena politisi PDIP menyarankan agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kebijakan kenaikan PPN sebesar 12%.

Usulan tersebut disampaikan dalam rapat delegasi DPR RI, Kamis (5/12/2024), oleh politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka. Ia berharap ini menjadi kado tahun baru bagi masyarakat.

“Dengan segala kerendahan hati, saya usulkan dalam rapat pemakaman ini untuk mendukung Presiden Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN sebesar 12 persen sesuai kewenangan pasal 7 ayat 3 dan ayat 2 UU No. tahun 2021,” kata Rieke dikutip detikNews.

Pernyataan PDIP ini ditanggapi keras oleh beberapa pihak, khususnya Partai Gerindra. Gerindra menilai PDIP tidak mungkin dan meminta PPN dihapuskan, padahal UU HPP yang menjadi cikal bakal kebijakan itu dibuat oleh partai sendiri.

Anggota Komisi Perpres tersebut merupakan produk DPR periode 2019-2024 dan diperkenalkan oleh PDIP.

“Kenaikan PPN sebesar 12% merupakan keputusan undang-undang (UU) tahun 2021 tentang Rasio Prinsip Perpajakan (HPP) dan akan menjadi 11% pada tahun 2022 dan 12% hingga tahun 2025, dan diperkenalkan oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi. keterangannya, Minggu (22/12).

Wihadi menilai sikap PDIP soal kenaikan PPN sangat kontradiktif saat membuat UU HPP. Selain itu, panitia kerja yang membahas kenaikan PPN dalam UU HPP kemudian dipimpin oleh PDIP. Wihadi menilai pendekatan yang dilakukan PDIP merupakan upaya melemparkan ‘bola api’ ke pemerintahan Prabowo. Padahal, kenaikan PPN sebesar 12% dalam UU HPP merupakan produk PDIP.

Partai NasDem juga menyoroti posisi PDI Perjuangan terkait penolakannya terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Nasdem mengatakan, UU HPP yang menjadi dasar kenaikan tersebut diterima oleh Partai NasDem. PDIP. di DPR RI. Wakil Ketua KPU menyebut PDIP yang merupakan Ketua Panitia Kerja Hukum HPP di DPR.

UU HPP merupakan hasil kesepakatan bersama yang telah disetujui dalam Rapat Pengantar DPR pada 7 Oktober 2021. Padahal, dalam pembahasannya, Panitia Kerja (Panja) RUU HPP dipimpin oleh Wakil Ketua DPR. Komisi XI DPR RI Bagian PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit,” kata Fauzi dalam keterangan tertulisnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPP PKB Faisol Riza menyindir sikap PDIP yang menentang kebijakan penerapan PPN 12%. Faisol Riza mengatakan, kebijakan tersebut mengacu pada ketentuan undang-undang HPP yang disahkan DPR RI periode 2019-2024.

“Kalau memang menentang penerapan PPN 12% menurut UU HPP, sebaiknya masyarakat mengadilinya melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. PDIP juga menyetujuinya pada saat disetujui, silakan teman-teman PDIP berdiskusi kembali dalam kasus JR. .

Bela diri PDIP

PDIP pun melakukan pembelaan. Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menegaskan, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dengan disetujuinya UU No. Kelompok. Deddy mengatakan partainya tidak berniat menyalahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Deddy menjelaskan, pembahasan undang-undang ini sebelumnya telah diusulkan oleh pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu. Saat itu, PDIP selaku kelompok yang terlibat dalam diskusi tersebut ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).

Makanya salah jika dikatakan PDI Perjuangan yang memulai karena mengusulkan kenaikan ke pemerintah (zaman Presiden Jokowi) dan melalui Kementerian Keuangan, kata Deddy dalam keterangannya.

Deddy menjelaskan, saat itu undang-undang tersebut disahkan dengan asumsi kondisi perekonomian Indonesia dan internasional dalam kondisi baik. Namun, kata Deddy, seiring berjalannya waktu, ada beberapa kondisi yang membuat banyak pihak termasuk PDIP meminta penerapan kenaikan PPN hingga 12 persen, PHK di berbagai daerah, dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang terus berlanjut. untuk bangkit saat ini.

(acd/acd)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *