Jakarta –
Jepang dikenal mempunyai budaya kerja yang sangat tinggi. Seringkali banyak warga yang terbiasa bekerja berjam-jam atau ‘bekerja berlebihan’, dan beberapa kasus berakhir dengan kematian.
Namun, budaya ‘workaholic’ di kalangan pemuda Jepang tampaknya masih lemah. Mereka ingin keseimbangan kehidupan kerja menjadi prioritas, meski sulit dicapai.
Hal itu terjadi pada reporter raksasa konsumen Jepang Kao, Yuki Sato. Secara umum, ia bisa bekerja lebih dari dua setengah jam sehari.
“Saya pulang kerja, lelah, dan tertidur. Biasanya seperti itu,” ujarnya, dilansir CNA.
Perempuan berusia 24 tahun itu akan lulus pada tahun 2022, saat dunia masih dalam masa pemulihan dari pandemi COVID-19. Inilah sebabnya generasinya takut hidupnya akan terganggu.
Katanya gajinya belum masuk saat itu. Stabilitas akan hilang jika upah dan harga barang-barang penting tidak berubah. Namun, situasi ini telah berubah setelah COVID-19.
Hewan lebih banyak berinteraksi dengan temannya saat makan siang. Ia juga senang memiliki tempat bersosialisasi sambil mengembangkan keterampilannya.
“Kami ingin menikmatinya sekarang, lakukan apa yang ingin kami lakukan sekarang.” Cara hidup telah berubah,” kata Sato.
Beberapa anak muda di Jepang mungkin meninggalkan negaranya untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Namun, di Jepang, banyak orang mulai memilih pekerjaan berbahaya dibandingkan pekerjaan penuh waktu.
Orang lain seperti Sato mulai merasa puas dengan posisi mereka saat ini. Sato berharap akhirnya bisa memulai sebuah keluarga dan bekerja sama.
“Saya bukan tipe orang yang menetapkan tujuan jangka panjang, saya akan melakukan apa yang ingin saya lakukan sekarang, dan itulah yang saya lakukan,” imbuhnya.
Berikutnya: Banyak anak muda yang memilih ‘keseimbangan kehidupan kerja’
(mungkin/tidak)