Jakarta –
Thailand dilanda gelombang penutupan pabrik dan PHK massal. Indonesia juga diminta berhati-hati agar tidak mengalami situasi serupa.
Menurut Reuters, sekitar 2.000 pabrik ditutup di Thailand tahun lalu. Banyak industri yang menjadi kontributor utama PDB nasional.
Abdilla Ahsan, Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, juga mengingatkan pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap tren terkini di negara-negara ASEAN, khususnya Thailand.
Perdana Menteri Thailand Sretta Thawisin mengatakan tingkat konsumsi industri telah turun hingga kurang dari 60%, sehingga tidak mungkin mencapai lebih dari 5% pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Menurut Dewan Nasional untuk Pembangunan Ekonomi dan Sosial, badan perencanaan nasional Thailand, besarnya masuknya barang impor dari Tiongkok disebabkan lemahnya daya saing industri dalam negeri.
Abdilla mengungkapkan kekhawatirannya masalah serupa bisa muncul di Indonesia jika pemerintah tidak bertindak cepat. Menurut dia, gejala situasi tersebut terlihat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja (HK) di industri TPT yang terpukul oleh impor.
“Melihat situasi di Thailand, rendahnya konsumsi mengindikasikan rendahnya permintaan konsumen. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek substitusi, misalnya karena ada produk dari luar negeri yang lebih murah. Selain itu, karena menurunnya daya beli dalam negeri. ke depan, “karena perekonomian global tidak mendukung perlambatan geopolitik, pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk melindungi produsen dalam negeri yang bekerja keras,” kata Abdilla seperti dikutip pada 18/24/2024.
Dalam situasi ini, Abdilla langsung menyarankan beberapa kementerian untuk mengimpor barang murah dari China, yang akan berdampak sangat buruk bagi industri dalam negeri.
Menurut dia, pertama, Kementerian Perekonomian harus mampu mengkoordinasikan seluruh kepentingan demi kesejahteraan produsen dan konsumen dalam negeri.
Ketiga, Kementerian Keuangan harus mampu menciptakan kebijakan pajak kepabeanan yang mendukung daya saing industri dalam negeri. Keempat, Kementerian Perdagangan harus menekankan posisinya dalam mendukung kepentingan nasional, tidak menghentikan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dan membatasi impor barang dari luar negeri. Saat ini sedang dilaksanakan,” tambah Abdilla.
Menurut dia, di saat barang impor dari China sedang deras-derasnya masuk ke Indonesia, penting untuk menegaskan posisi kementerian yang bertanggung jawab dalam pengembangan sektor industri lokal.
Ia mengatakan penting juga untuk melindungi sektor industri padat karya di Indonesia dari serangan luar. Sikap tersebut diungkapkan setelah disahkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 sehubungan dengan peningkatan volume produk yang masuk ke pasar Indonesia. 8 Tahun 2024 pelonggaran aturan impor dan penolakan dari pelaku manufaktur dalam negeri.
“Fokusnya harus pada industri padat karya dimana guncangan bisnis bisa berujung pada PHK. Jika stabilitas ini menguntungkan importir padat karya, maka pemerintah harus memitigasi dampaknya,” jelas Abdilla.
Abdilla juga mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah memerintahkan diakhirinya pengangguran dari luar negeri, khususnya di sektor tekstil padat karya. Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyerukan diakhirinya kelonggaran asing karena merugikan sektor dalam negeri.
“Saya setuju dengan Pak Jokowi. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung angkatan kerja, terutama impor produk-produk non-esensial seperti pakaian, serta pemantauan dan pengendalian yang lebih baik. Menghilangkan kelemahan impor akan memberikan waktu bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan kebijakan. Sempurna ..” kata Abdilla.
Menurut Abdilla, pemerintah perlu memprioritaskan pembatasan impor terhadap produk-produk non-esensial yang produksinya padat karya guna mempertahankan penyerapan tenaga kerja.
“Impor produk kebutuhan pokok harus dibatasi dan industri dalam negeri diharapkan bisa swasembada. Selain itu, impor produk padat karya seperti pakaian harus dibatasi dengan kenaikan tarif, karena pakaian bukan produk kebutuhan pokok. ,” tambah Abdullah. (das/das)