Jakarta –
Ketua DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia melontarkan lelucon tentang Raja Jawa dan membuat heboh. Banyak kelompok mempunyai pendapatnya masing-masing.
Lelucon itu diungkap Bahlil setelah Golkar terpilih dengan suara bulat menjadi ketua umum baru partai tersebut menggantikan Erlanga Hartarto. Kata Jawa raja dan teguran kepada petinggi Golkar untuk tidak main-main disampaikan Bahlil saat memberikan pidato penjelasan visi dan misinya pada Konvensi Nasional XI Partai Golkar di pusat Konvensi Jakarta, Jakarta (21/8/ 2024).
“Harusnya kita punya paten yang lebih banyak. Masalahnya, kalau kita bermain-main dengan Raja Jawa, kita akan kesulitan,” kata Menteri Energi dan Mineral (ESDM).
Namun Bahlil tidak membahas detail gambar yang disebut-sebut sebagai Raja Jawa itu. “Itu dia. Wah. Banyak yang ingin dikatakan, apakah kamu melihat ini? Ya, aku tidak perlu mengatakannya. Tidak perlu,” imbuhnya.
Banyak orang mengutarakan pendapatnya tentang raja Jawa tersebut. Dimulai dari Ketua DPP PDI Perjuangan Jenderal Megawati Sukarnoputri dari Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono karena Presiden RI hampir seluruhnya orang Jawa.
Sejarawan Asap Kambali menjelaskan perkataan Bahlil. Katanya, kata-kata itu hanya lelucon politik. Kalau kita bilang raja jaman sekarang, berarti semua presiden Indonesia adalah keturunan Jawa.
Jadi, raja Jawa yang dibicarakan Bahlil itu nyata atau tidak. Saya lihat itu semacam lelucon politik atau politis, kata Asep di detikcom, Kamis (22/8/2024).
“Jadi tidak benar. Itu hanya sekedar kata, arti kata kalau saya tafsirkan seperti itu, sesuai sejarah bangsa kita yang setiap pemimpin kita selalu orang Jawa,” ujarnya. Fakta budaya dan makna persahabatan dalam jumlah tertentu
Profesor Fakultas Sastra Universitas Sanyata Dharma Heri Priyatmoko yang juga pemerhati budaya dan sejarah menebak-nebak apa yang dibicarakan Bahlil. Heri menilai citra raja Jawa dengan mengacu pada faktor budaya dan psikologis. Raja Jawa yang dibicarakan Bahlil bisa jadi adalah Presiden Joko Widodo yang juga hadir di Munas Golkar.
“Kita lihat Bahlil berbicara seperti itu, yaitu lingkaran kekuasaannya. Jelas sekali itu menunjukkan citra Jokowi. Gambaran yang digambarkan atau digambarkan raja Jawa itu mengacu pada Jokowi,” kata Harry saat diwawancara Detikcom. . Kamis (22/8/2024).
“Kalau soal politik kekuasaan, misalnya kalau bicara di kubu Megawati, Bahlil pasti punya gambaran berbeda. Menganalisis sejarah politik, jelas, cincin siapa yang pertama. Masyarakat bisa menyangkal. Pikiran bawah sadar, tapi secara kolektif pikiran mereka tahu “Dalam pikiran bawah sadar menjadi jelas siapakah Bahlil itu. Misalnya Bahlil bicara raja Kalimantan atau raja Timor, itu sejarah,” kata Herry. 3. Yogyakarta bukan tempat keraton.
Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengaku tidak tahu apa arti raja Jawa dalam Bahlil.
“Ada apa (dengan bahasa Raja Jawa)? Saya tidak tahu tentang bahasa itu,” kata Sultan H.B.
Sultan yang juga menjabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini mengaku tidak akan lagi mencampuri urusan kekuasaan politik karena itu bukan haknya. Sultan mengatakan tidak ada tempat untuk mengatakan atau menjawab lebih dari ini.
“Saya bukan lagi anggota partai, saya tidak (secara hukum) boleh masuk partai,” kata Sultan HB X.4. Megawati meminta diperkenalkan dengan Raja Jawa
Kata Bahlil Lahadalia senada dengan pernyataan Sekjen DPP PDI-P Megawati Sukarnaputri yang meminta dikenalkan dengan raja Jawa tersebut. Megawati mengesahkannya pada Kamis (22/8) usai membacakan nama-nama kepala daerah gelombang kedua yang direkomendasikan Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta.
“Saya ketawa, dia ketawa, katanya Raja Jawa. Sepertinya dia paham maksud Raja Jawa, dia orang Papua. Jadi dia langsung ketawa sambil sarapan, wah,” kata Megawati di kantor DPP PDI Perjuangan. .
“Saya juga ingin tahu raja jawa. Sejak kapan raja jawa? Hati-hati bingung. Raja jawa kapan,” ucapnya 5.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanga Hartarto pun angkat bicara soal raja Jawa tersebut. Dikatakannya, raja-raja di Jawa hanya ada pada kerajaan-kerajaan dahulu kala, namun kini sudah tidak ada lagi.
Raja Jawa itu dari kerajaan lama, bukan hari ini, kata Airlanga, yang juga Ketua DPP Golkar, usai konferensi pers peluncuran Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (Genkarkan) Jakarta, Kamis. (22/8). Pihak istana tidak mau berspekulasi mengenai Raja Jawa
Hassan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), mengatakan pihak istana tak mau terlalu memikirkan jumlah raja di Jawa.
“Itu pernyataan politik partai politik,” Hassan di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Kamis (22/8).
Untuk itu, ia membiarkan masyarakat menafsirkan setiap pertanyaan tentang citra “Raja Jawa” itu. “Tolong jelaskan satu per satu,” kata Hassan. Raja-raja Jawa menggunakan kerajaan Mataram kuno
Dari berbagai sumber, gelar Raja Jawa mengacu pada penguasa negara Jawa, terutama Mataram Islam. Setiap raja atau sultan yang memerintah pada zaman Islam diberi gelar ‘Khalifatullah Tanah Zawi’ atau pemimpin di Jawa.
Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Keraton Solo, dan Puro Mangkunegaran.
Saat ini Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) Adipati Arya Mankunegara X atau Vre Chakrahutomo Wira Sudjiwo.
Dua kerajaan lain di Pulau Jawa adalah Keraton Cirebon yang dipimpin Sultan Sepuh Aloyda II atau Raden Rahardjo dan Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Ratu Bagus Hendra Bambang Wisangeni.
“Pemerintahan saat ini adalah penguasa tradisional, mereka tidak punya peran dalam politik, tempatnya hanya di dalam tembok istana,” kata Heri Priyatmoko, profesor sastra di Universitas Sanyata Dharma.
“Sekarang tanggung jawab melestarikan tradisi seperti Sekatenan, Gregeb Malam Suro menjadi tanggung jawab pemerintah ini, tapi dari segi kekuatan politik tidak punya kekuatan politik, mengikuti pemerintah,” ujarnya.
Salah satu pangeran keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Panembahan Pakonegoro atau Raden Mas Hartawan Kandra Malik yang juga ahli kebudayaan menjelaskan, raja-raja Jawa masih ada hingga saat ini. Mereka berkumpul dalam pertemuan tersebut.
“Banyak. Mereka berkumpul di Majelis Agung Raja dan Sultan Indonesia (MARS). Juga banyak organisasi yang beranggotakan raja, sultan, keluarga dan/atau kerabat kerajaannya,” ujarnya kepada detikcom, Kamis (22) /8/ 2024).
Dikatakannya, hanya Kesultanan Yogyakarta yang berhak menjalankan pemerintahan. Sementara sebagian lainnya mempunyai pekerjaan tradisional.
Saksikan video “Hasto Sentil Bahlil tentang Raja Jawa: Kita Punya Sistem Presidensial” (fem/fem)