Jakarta –
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenku) mengumumkan minuman manis kemasan (MBDK) akan dikenakan cukai. Produk-produk ini dibagi menjadi dua kelompok.
Ian Rubiento, Direktur Teknik DJBC Departemen Keuangan, mengatakan dua kelompok MBDK yang akan dikenakan cukai adalah minuman siap minum dan konsentrat yang dikemas untuk penjualan eceran.
“Objek cukainya adalah minuman yang diberi pemanis gula, pemanis alami, dan pemanis buatan dalam kemasan baik berupa minuman jadi maupun konsentrat,” kata Ian pada kuliah umum PKN Steyn “Penjajakan Potensi Cukai” pada Rabu. (24/07/2024).
Yiang mencontohkan, produk yang dikenakan cukai atas minuman jadi adalah minuman khas Asia seperti jus buah dan minuman ringan yang dikemas dengan tambahan gula, minuman energi, minuman lain seperti kopi, teh, minuman berkarbonasi, dan lain-lain. ,
“Kita berbicara tentang jus buah, jus buah, minuman energi, kopi, dan minuman lain seperti teh. Kalau kopinya ada gulanya ya, kalau tidak ada gulanya tidak kena (pajak),” jelas Ian.
Namun, untuk konsentrat yang dikemas untuk penjualan eceran, produk dalam bentuk bubuk seperti biji kopi, cairan seperti sirup dan permen karet, serta produk dalam bentuk padat seperti minuman effervescent akan dikenakan cukai.
Tarif akan dikenakan per liter tergantung kuantitas gula. Perlu diperhatikan bahwa target pajak cukai di sini adalah industri manufaktur dan impor, bukan pengecer.
Sebaliknya, DJBC akan mengecualikan atau menetapkan produk MBDK tidak dikenakan cukai, yang selanjutnya akan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (PMK). Diantaranya yang dijual untuk keperluan medis, seperti susu formula atau produk lainnya, madu tanpa tambahan pemanis, jus sayur atau buah, dan minuman yang dijual dan dikonsumsi secara lokal (warung makan, dll), menurut BPOM dan Kementerian Kesehatan. Adalah. ,
Ian menjelaskan, “Di warung mereka minum teh, kopi apa saja, biasanya gulanya tidak banyak, tapi nanti kita tidak ke sana, kita ke industri.”
Tujuan pengenaan cukai pada banyak MBDC adalah untuk mengendalikan konsumsi masyarakat yang berpotensi menyebabkan obesitas dan diabetes. Pemerintah mencatat jumlah diagnosis diabetes tipe 2 di Tanah Air meningkat sebesar 74%, dari 5,2 juta pada tahun 2018 menjadi 9,1 juta pada tahun 2022.
Selain itu, total biaya klaim pasien diabetes juga meningkat sebesar 26% antara tahun 2018 dan 2022, dari Rp1,5 triliun menjadi sekitar Rp2 triliun. Indonesia disebut-sebut menduduki peringkat ke-5 dunia dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia, yakni mencapai 19,5 juta jiwa.
“Ini bukan soal panik, inilah yang terjadi. Ini sudah diteliti dan inilah yang terjadi sekarang di masyarakat, termasuk generasi muda,” kata Ian.
Simak Video “Jokowi Campur Tangan Masalah Kepabeanan”:
(bantuan/budak)