Jakarta –
Peluang Donald Trump memenangkan kursi kepresidenan Amerika Serikat (AS) kian meningkat pasca tragedi penembakan dan mundurnya Joe Biden dari kontestasi. Banyak yang meyakini kemenangan Trump akan berujung pada Trumpflasi.
Diketahui, rata-rata laju inflasi pada masa kepresidenan Donald Trump adalah sebesar 1,9%, jauh lebih rendah dibandingkan pada masa kepresidenan Joe Biden yang rata-rata mencapai 5,4%. Namun, beberapa investor terkemuka meyakini potensi inflasi di masa depan akan semakin buruk jika Trump memenangkan pemilu kali ini.
Trump berencana mengenakan tarif 10% untuk seluruh impor dan tarif 60% untuk impor dari Tiongkok. Peterson Institute for International Economics memperkirakan hal ini akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga sebesar $1.700 atau sekitar Rp 27,7 juta per tahun (kurs Rp 16.300).
“Pembeli menghabiskan lebih banyak uang untuk barang yang sama, sebagian besar disebabkan oleh inflasi,” lapor Yahoo Finance pada Sabtu (27/7/2024).
Selain itu, Trump berencana memberi Gedung Putih kendali lebih besar terhadap bank sentral AS, Federal Reserve. Hal ini menciptakan prospek yang jika terwujud akan mengganggu pasar keuangan.
The Fed mempunyai pekerjaan yang sangat sulit dalam upayanya menjaga inflasi dan lapangan kerja pada tingkat optimal. Campur tangan politik Gedung Putih membuat hal ini semakin sulit.
Trump sendiri sebelumnya telah menekan The Fed untuk menurunkan suku bunga. Jika Trump memenangkan masa jabatan kedua dan mencoba memaksakan agendanya di The Fed, hal ini dapat dengan mudah meningkatkan inflasi dan melemahkan kepercayaan terhadap perekonomian AS.
Apalagi Trump ingin memperpanjang serangkaian program pemotongan pajak. Program ini akan dimulai pada tahun 2017 dan selesai pada akhir tahun 2025. Fase ekspansi ini berpotensi meningkatkan utang negara dari $4 triliun menjadi $5 triliun.
“Pada titik tertentu, terlalu banyak utang akan membanjiri pasar dengan ‘pencetakan uang’ (kelebihan pasokan mata uang). Ini adalah faktor lain yang dapat menyebabkan inflasi.”
Hasil analisis Goldman Sachs juga menyoroti dampak inflasi terhadap agenda perekonomian tersebut. Melihat potensi inflasi yang lebih tinggi dan guncangan geopolitik ke depan, Goldman menyarankan investor untuk membeli emas.
“Kami melihat nilai posisi long pada emas sebagai lindung nilai inflasi terhadap guncangan geopolitik, termasuk tarif, risiko kebijakan Fed, dan kekhawatiran kredit,” tulis analis Goldman.
Selain tarif yang lebih tinggi dan kritik terhadap rencana The Fed di era Trump, bank investasi tersebut juga mencatat bahwa tindakan keras Trump terhadap imigrasi dapat mengurangi lapangan kerja, memperburuk kekurangan tenaga kerja di beberapa industri, menaikkan upah, dan menaikkan harga.
Analisis terbaru lainnya yang dilakukan oleh Moody’s Analytics mengenai perekonomian Trump pada periode kedua mencapai kesimpulan serupa. “Kebijakan yang diterapkan dalam skenario ‘Republican Sweep’ akan menyebabkan inflasi lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi melemah,” tulis Moody’s Analytics.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh tarif impor baru dan berkurangnya imigrasi di bawah pemerintahan Trump. Langkah ini berpotensi menaikkan harga dan menghambat pertumbuhan.
Kemudian, analisis Oxford Economics pada Mei juga menemukan bahwa tarif baru Trump dan kebijakan lainnya dapat meningkatkan inflasi sebesar 1%. Kebijakan inflasi Trump juga dapat memaksa The Fed untuk menunda penurunan suku bunga dan bahkan mungkin menaikkan suku bunga lebih lanjut untuk mencegah tekanan inflasi lebih lanjut. (shc/fdl)