Yogyakarta –
Budaya Jawa mengenal Serat Susil Sanggam sebagai kitab tentang bagaimana mencintai sesuai aturan. Tak kalah megahnya dengan Kamasutra lho.
Jika India punya Kamasutra, maka Jawa mengenal Serat Susil Senggama. Topik ini berisi tentang pendidikan seks bagi generasi muda saat itu, khususnya bagi pasangan suami istri, untuk mencari kepuasan lahir dan batin.
Thread ini ditulis pada awal abad ke-20, jauh lebih muda dibandingkan thread dengan pembahasan serupa yaitu Serat Centhini atau Serat Nitimani.
Raden Tjondra Pradata dikenal sebagai penulis Serat Susila Sanggama. Namun dalam surat pembuka thread ini dijelaskan bahwa Tjondra Pradata sebenarnya hanya sekedar mendata warisan milik orang tuanya.
Benang Susila Sanggama yang banyak beredar adalah Susila Sanggama Tjondra Pradata atau Keraton Surakarta versi Chandra Suwiknyo. Namun, ketika saya membaca pendahuluan dengan seksama, Candra Suwiknyo menyatakan bahwa dia hanya menyalinnya. Naskah asli milik ayahnya. kami periksa di banyak perpustakaan, perpustakaan UI, dll dan guru besar program studi budaya, Rudy Wiratama di gedung Margono Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Rudy menjelaskan, topik ini ditulis ulang dengan tangan oleh Raden Kusumo Darsono. Tulisan Raden Kusumo Darson kini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sedangkan versi lain yang diperoleh dari Yayasan Sastra Lestari adalah transkripsi dari versi cetak. Terakhir, naskah yang disimpan di Perpustakaan Pusat UGM merupakan transkripsi karya Koko Widyatmoko. Perbedaan ketiga versi tersebut terletak pada cakupan jumlah babnya, namun isinya sama
Dalam kata pengantar Serat Susila Sanggama dijelaskan bahwa sumber ilmu pengetahuan tentang topik ini berasal dari Asmaragama. Ilmu Asmaragam konon ditulis oleh Sunan Kudus atau Syekh Jafar Sodiq, bersumber dari ajaran Nabi Muhammad SAW Ali Bin Abi Thalib.
“Ilmu Asmaragama konon ditulis oleh Sunan Kudus atau Syeh Ja’far Shodiq pada tahun 1445 di Jawa. Dimanakah Syekh Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus menulis Ilmu Asmaragama yang dijadikan dasar penulisan Serat Susil Sanggama? sesuai keterangan penulis “Berasal dari ajaran Nabi Muhammad SAW Ali Bin Abi Thalib”, kata Rudy.
Rudy pun menduga Tjondra Pradata atau Chandra Suwiknyo menjiplak topik tersebut dengan menggunakan bahasa santun untuk mendidik anak cucu.
Karena saat itu tujuannya untuk mendidik anak cucu. Oleh karena itu, jika kita mengatakan pendidikan masyarakat Indonesia kurang dalam bidang kesehatan reproduksi, sebenarnya salah. Karena nenek moyang kita sudah mengetahui hal tersebut, termasuk Susil Sanggam. Dia menjelaskan.
Dalam Serat Susila Sanggama dijelaskan hubungan suami istri dari segi ibadah, sehingga harus dilakukan dengan hati yang suci. Hal ini tertuang dalam Serat Susila Sanggama halaman 6 dengan terjemahan:
“Yang utama (saat) seseorang bergaul dengan pasangannya adalah mempraktikkan cinta, secara internal sebagai sikap pemujaan. Itu harus (dengan) hati yang murni. , rasa jijik, kecanggungan, dll. Misalnya, jangan lakukan ini dua kali. Antara lain yang harus diperhatikan (antara lain) berhubungan seks di rumah (.sampai) 2 kali bisa) mengurangi birahi. Jangan sampai hal ini terjadi terlalu sering. .
Setelah mengamalkan ilmu Asmaragama melalui sikap tubuh, maka amalan dilanjutkan dengan tindakan yaitu tata cara seksual dari awal hingga akhir.
Terdapat pula pemaparan mengenai klasifikasi wanita dan ciri-cirinya yang diklasifikasikan berdasarkan nama istri dan anak perempuan Nabi Muhammad SAW.
Selain itu terdapat penjelasan tentang organ reproduksi meliputi bahasa Jawa, Belanda, Latin, dan Perancis, lengkap dengan morfologi dan fisiologi yang ditulis untuk remaja.
Serat Susila Sanggama diyakini ditulis pada akhir abad ke-19 dan versi cetaknya ditulis pada abad ke-20.
Adapun Susila Sanggama, karena ditulis pada awal abad ke-20, penulis versi cetaknya, Tjondra Pradata, mencoba menjelaskannya secara ilmiah dengan menggunakan ungkapan dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu ungkapan Susila Sanggama dalam versi cetak ini merupakan karangan sains populer. “Tentu saja dari sudut pandang orang Jawa yang beragama Islam dan mengetahui peradaban Eropa, karena dia juga seorang PNS,” kata Rudy.
Meski mengandung pendidikan seksual, namun topik Susila Sanggam tidak dianggap sebagai teks erotis. Topik ini juga diterbitkan secara cuma-cuma oleh S.M. Colorido di Kotagede, yang merupakan penerbit buku umum, pada tanggal 10 Agustus 1923.
“Sebenarnya di dalam Serat Susila Sanggama terdapat informasi tentang bagaimana cara seseorang melakukan hubungan seksual, bagaimana seorang istri bisa memperoleh kenikmatan, bagaimana seorang suami bisa menjaga dan memberikan kenikmatan tersebut kepada istrinya, dan lain-lain,” kata Rudy.
Namun Tjondra Pradata sendiri menulis bahwa “Saya menulis dengan sopan santun, dengan bahasa yang indah, agar tidak lucu, agar tidak menjadi bahan lelucon, agar tidak menjadi sesuatu. ini sebuah penghinaan’ Karena dia memang berniat menulis ini “demi warisan yang ditinggalkan anak cucunya, bahwa Tjondra Pradata menganggap serius seks”, lanjutnya.
Selain itu, kalimat-kalimat yang digunakan dalam topik ini juga banyak menggunakan metafora dan alegori. Kata-kata metaforis ditulis untuk menggambarkan keadaan seksual.
Orgasme adalah puncak kenikmatan yang diraih saat berhubungan seksual, namun dalam Serat Susila Sanggama istilahnya bukan orgasme melainkan Sanghyang Kamajaya. Kama artinya sperma atau benih, pemenangnya adalah pemenang. Jadi yang disebut Sanghyang Kamajaya adalah saat terjadi ejakulasi, itulah contoh metafora dalam Serat Susila Sanggama”, tutupnya.
——
Artikel ini diposting di detikJogja. Tonton video “Tradisi Pengantin Baru” (wsw/wsw)