Jakarta –
Masjid Al Alam di Marundah memiliki keunikan sebagai salah satu masjid tertua di Jakarta. Ternyata, tidak hanya itu saja, gereja juga mempunyai banyak keistimewaan lainnya.
Masjid Al Alam konon dibangun pada abad ke-16 yang dikenal juga dengan nama Masjid Al-Marundah.
Terletak di tengah desa, masjid tua ini tidak terlihat dari pintu masuk. Terletak di Jalan Marunda no. 1 atau di pinggir Pantai Maroondah.
Salah satu pengurus Masjid Al-Alam, Qusnadi mengatakan, masjid tersebut dibangun hanya dalam waktu satu malam. Awalnya bukan gereja, melainkan surau.
“Sejarah (pembangunan) Masjid Al-Marunda sangat singkat, Masjid Awliya Al-Marunda dibangun pada malam hari, cerita orang tua kami bahwa Masjid Awliya Al-Marunda dibangun pada malam hari oleh para Awliya.” ,” kata Kunadi kepada detikTravel, Jumat. (05/07/2024).
Kemudian, pada tahun 1975, menurut Kusnadi, Masjid Al-Alam ditetapkan sebagai situs cagar budaya oleh Pemerintah Daerah Jakarta. Menurut cerita yang didengarnya dari para sesepuh, Masjid Al-Alam Marundah dinamakan Masjid Al-Awliya karena bangunannya lebih indah pada masa itu.
“Dan pertama-tama kita harus tahu bahwa masjid ini disebut Masjid Agung Auliya oleh zaman dahulu karena bangunannya pada masa itu sangat indah dan dibangun dengan baik dengan dinding dan ubin,” ujarnya.
Setelah masjid tersebut diakui sebagai situs cagar budaya, pemerintah DKI Jakarta melakukan penelusuran kapan masjid tersebut dibangun dan oleh siapa. Kusnadi mengatakan, Dinas Purbakala saat itu menetapkan Masjid Al-Alam didirikan pada abad ke-16 dan bertepatan dengan kedatangan Fatahillah di Batavia.
“Sekitar tahun 1982, gereja ini diperiksa oleh Dinas Purbakala, yang diperiksa struktur bangunannya, struktur bangunannya, dan lain-lain. Akhirnya, seperti halnya Dinas Purbakala, gereja ini dibangun oleh tentara Fatahila, ketika mereka datang untuk menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kawasan Batavia ini,” kata Kusnadi.
Dibandingkan dengan masjid modern lainnya, Masjid Al Alam Marundah tidak kalah karena memiliki keunikan yang memadukan empat budaya: Jawa, Cina, Eropa, dan Betawi.
“Secara desain, Masjid Al Marundah memiliki empat budaya, pertama budaya Jawa, kedua Tionghoa, ketiga Eropa, dan keempat budaya Betawi itu sendiri,” ujarnya.
Kusnadi menambahkan desain tradisional Jawa pada masjid yang terletak di dalam kubah ini. Masjid biasanya menggunakan kubah berbentuk bulat, namun berbeda dengan Masjid Al Alam, kubahnya berbentuk seperti joglo atau disebut kubah tumpang. Pengaruh budaya Tionghoa terlihat pada uvungan atau rumah yang turun berbentuk naga, ujarnya.
Kemudian kebudayaan Eropa dapat dilihat pada gereja ini melalui empat kolom seperti bidak catur yang ada di dalam gereja. Dan budaya Betawi terlihat pada masjid ini pada bentuk jendela dan pintu masjid.
Keistimewaan lain dari masjid ini adalah adanya tiga sumur dupa, jelas Kushnadi, karena banyak jamaah yang datang ke Masjid Al Alam.
“Disini juga ada air mancurnya seperti yang naik haji, air mancur tiga rasa, karena setiap pengunjung datang ke Masjid Al-Marunda. Masing-masing orang merasakan sendiri rasanya, ada yang asin, ada yang asin. Lalu ada juga yang tahu manisnya,” jelasnya. Hal ini terkait dengan kisah Si Pitung.
Kushnadi pun menjelaskan mengapa masjid ini dinamakan Masjid Si Pitung. Ia mengatakan, masjid tersebut terletak di dekat objek wisata Rumah Si Pitung.
Selain itu dari legenda yang ditemukannya, konon si Pitung juga pernah mengunjungi masjid ini, sehingga sebagian orang menyebut masjid ini dengan nama Masjid Si Pitung.
Terkait Masjid Al Marundah, pertama karena dekat rumah Si Pitung, kedua, dia beriman, beragama Islam, dia juga berjuang untuk bangsa Indonesia, Insya Allah dia beriman dengan Al mini.-masjid-Ala., ” dia berkata.
Masjid Al-Alam jika dilihat dari sejarahnya dan terawat hingga saat ini, cocok dijadikan sebagai tempat wisata religi dan edukasi. Segala sesuatu yang mengelilingi gereja kuno ini menjadi bukti perjalanan Marunda hingga saat ini.
Saksikan video “Sejarah Masjid Al-Alam Marundah Didirikan Pada Abad Ke-16” (fem/fem)