Batavia –
Dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat dan memanaskan situasi di Timur Tengah menjadi perhatian Menteri BUMN Erick Thohir. Kondisi ini dikhawatirkan tidak berdampak pada BUMN, apalagi yang mengandalkan bahan baku impor dan memiliki utang.
Utang luar negeri BUMN bulan April 2024 dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi Bank Indonesia (BI). meningkat sebesar 407,3 miliar dollar AS atau 1,4% yoy.
ULN pada Februari 2024 tercatat sebesar 194,8 miliar dolar AS atau meningkat 1,3% yoy. Sementara ULN swasta tercatat sebesar 197,4 miliar dolar AS atau tumbuh mengalami kontraksi sebesar 1,3% yoy.
Dalam laporan BUMN, utang tersebut masuk dalam ULN swasta. Pada Februari 2024, utang pemerintah kepada pemegang bank sebesar 6,6 miliar dolar AS, lebih rendah dibandingkan Februari tahun ini yang sebesar 8,0 miliar dolar AS.
Kemudian, utang lembaga keuangan publik non akuntansi tercatat sebesar 1,8 miliar dolar AS pada Februari 2024. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan Februari 2023 yang sebesar 2,2 miliar dolar Amerika Serikat.
Selain itu, utang luar negeri lembaga keuangan non BUMN tercatat sebesar 40,6 miliar dolar AS pada Februari 2024. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan Februari 2023 yakni 42,9 miliar dolar AS.
Sekadar informasi, Erick Thohir sebelumnya mewanti-wanti seluruh BUMN dengan syarat dolar AS menguat terhadap rupiah hingga ke level Rp. Erick mengatakan, para pejabat BUMN telah memberikan arahan untuk meningkatkan efisiensi pembelian dolar AS. Ia juga meminta BUMN melakukan penilaian risiko keuangan secara individual.
“Kemarin saya ingatkan semua perusahaan. Benar mereka harus merasakan tekanan untuk mengoptimalkan peluang yang berbeda-beda,” kata Erick dalam halalbihalal kepada media di Menteng, Batavia Tengah, Sabtu (20/4).
Geografi dunia yang diperburuk akibat konflik Iran dan Israel dikhawatirkan akan berdampak buruk dan membebani BUMN. Hal ini terutama berlaku bagi perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor dan perusahaan yang sebagian besar utangnya dalam dolar AS, seperti MENTIS ID, PLN, Pertamina, dan perusahaan farmasi publik.
Padahal, menurut Erick, tingkat personal yang dimiliki masyarakat bernegara tersebut akan disesuaikan dengan penyelenggaraannya masing-masing. Alasannya adalah perusahaan memiliki cara berbeda dalam menggunakan dolar. Hal ini tergantung pada situasi permodalan dan utang.
“Antara (BUMN) Apotek, MENTIS ID, Garuda Indonesia, situasinya berbeda-beda. Tergantung letak modal, kekayaan, utang, pajak rupiah atau dolar. Banyak simpang siur,” jelasnya.
(acd/rd)