Jakarta –
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai pemerintah harus segera mencermati laporan 3,3% atau 399 calon ahli medis di RS Vertikal menderita depresi bahkan mengakhiri nyawa. Tujuannya untuk mengetahui etiologi depresi PPDS, serta kondisi klinis atau diagnosis yang sebaiknya ditegakkan oleh psikiater.
Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Adib Humaidi, salah satu faktor terbesar penyebab depresi pada PPDS adalah masalah jam kerja. Belum ada jadwal ideal yang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah mengenai jam kerja warga.
Ia mengatakan dalam jumpa pers, Jumat (19/4/2024), “Jam kerja yang sangat panjang menyebabkan berkurangnya waktu istirahat, makan, bersantai dan tidur, sehingga menurunkan daya tahan tubuh dan mengurangi keselamatan pasien.”
Sebab, jika keluhan depresi PPDS tidak diatasi, hal ini dapat berdampak pada manajemen keselamatan pasien. Rata-rata, 41 hingga 76 persen PPDS menderita burnout, dan 7 hingga 56 persen menderita depresi, kata Dr. Adib mengutip sejumlah penelitian.
Senada, Ketua Jaringan Dokter Muda Indonesia (JDN) dr Tommy Dharmawan, SpBTKV menjelaskan, rata-rata jam kerja PPDS yang dinilai manusiawi adalah 80 jam per minggu. Kali ini dirasa cukup untuk meningkatkan keterampilan warga.
Namun menurutnya, permasalahan ini perlu terus didiskusikan dengan masing-masing sekolah untuk memenuhi cakupan keterampilan tertentu yang dibutuhkan di setiap program studi. Spesialis dan sub spesialis.
“Jam kerja yang sangat panjang dapat menyebabkan kelelahan, kelelahan, dan depresi, namun jam terbang diperlukan untuk mencapai kinerja ini. Misalnya, seperti pilot, menurut beberapa literatur dunia, 80 jam kerja, Anda mendapatkan performa yang lebih baik.”
Berikut jam kerja penduduk di masing-masing negara: Eropa: 48 jam per minggu Prancis: 52,5 jam per minggu Inggris: 64 jam per minggu Kanada: 80 jam per minggu Amerika Serikat: 90 jam per minggu Selandia Baru: 72 jam per minggu
Catatan PDSKJI
Wakil Presiden/Ketua Dewan Pusat terpilih Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengatakan, hasil pemeriksaan Kementerian Kesehatan RI akan lebih efektif jika mendukung wawancara tersebut.
“Akan lebih efektif jika pewawancara bisa memastikan gejalanya dengan skrining,” tutupnya. Apa yang harus dipahami dan masalah apa yang ada? “Hanya dengan cara ini hasilnya akan lebih komprehensif dan efektif.”
Tonton video “Serangkaian Penyakit Umum yang Didiagnosis DSA” (naf/up)