Jakarta –
Beban yang lebih berat harus ditanggung masyarakat Indonesia jika pajak pertambahan nilai (PPN) dinaikkan sebesar 12% pada tahun 2025. Ibarat terjatuh, kebijakan ini terjadi di saat PHK dimana-mana dan daya beli sedang rendah.
“Efek kenaikan PPN sebesar 12% akan langsung meningkatkan inflasi secara keseluruhan, berbagai produk menjadi lebih mahal,” kata CEO Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, kepada detikcom, Selasa (11/1). 19/2024).
Sedangkan untuk PHK, Kementerian Ketenagakerjaan (Kamenkar) mencatat pada periode Januari-Oktober 2024, terdapat sekitar 63 ribu pekerja yang terkena PHK. Pekerja yang terdampak tersebar di beberapa kabupaten, namun sebagian besar berada di DKI Jakarta.
“Pada periode Januari-Oktober 2024, terdapat 63.947 pegawai yang mengundurkan diri (penghentian kerja). Pegawai yang diberhentikan paling banyak berada di wilayah DKI Jakarta, yaitu sekitar 22,68 persen dari jumlah pegawai yang diberhentikan. demikian bunyi pengumuman di situs Satu Data Kementerian Sumber Daya Manusia.
Selain itu, daya beli masyarakat juga lesu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) selama empat triwulan terakhir, konsumsi rumah tangga selalu berada di bawah 5%, dan pada triwulan III tahun 2024 hanya sebesar 4,91%.
Lemahnya daya beli juga tercermin dari laporan S&P Global yang mencatat PMI manufaktur Indonesia sebesar 49,2 pada Oktober 2024 atau sama dengan bulan sebelumnya. Kontraksi ini sudah terjadi selama empat bulan berturut-turut.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah sebenarnya berencana menerapkan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Ketentuan Perpajakan (UU HPP).
Jadi kita di sini ngobrol dengan Bapak dan Ibu (DPR), sudah ada undang-undangnya, perlu kita persiapkan agar bisa dilaksanakan tapi dengan penjelasan yang baik agar tetap bisa kita lakukan, kata Shri Mulani dalam pertemuan tersebut. bersama Komite XI DPR RI, Rabu (13/11). (bantuan/acd)