Jakarta –
Jumlah kelas menengah seharusnya dikurangi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan menurunnya kelas menengah Indonesia disebabkan oleh tekanan harga atau inflasi yang tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah Indonesia menyumbang 17,13% dari pangsa masyarakat Indonesia pada tahun ini. Tahun ini jumlahnya 46,85 juta orang.
Indikator ini mengalami penurunan sejak tahun 2019 yang pangsanya sebesar 21,45% atau sebanyak 57,33 juta orang. Kemudian pada tahun 2021 juga mengalami penurunan menjadi 19,82% atau sebanyak 53,83 juta orang.
Tauhid Ahmad, Ekonom Senior Institut Ekonomi dan Keuangan (Indef), mengatakan kelas menengah telah terjerumus ke dalam kelas menengah dan rentan terhadap kemiskinan.
Jadi kelas bawah ada satu dan ada dua tingkat. Jadi kelas bawah itu miskin, kelas dua rawan kemiskinan, dan kelas ketiga kelas menengah, kata Tauhid kepada detikcom, Sabtu (10/5). 2024).
Menurut BPS, seiring menyusutnya jumlah kelas menengah, maka jumlah kelas menengah dan rentan kemiskinan pun meningkat.
Jumlah penduduk rentan kemiskinan sebanyak 54,97 juta jiwa atau 20,56% pada tahun 2019. Setelah itu meningkat menjadi 21,47% atau 58,32 juta orang pada tahun 2021 dan 24,23% atau 67,69 juta orang pada tahun 2024.
Sementara itu, pangsa penduduk kelas menengah pada tahun 2019 sebesar 48,20% atau sebanyak 128,85 juta jiwa. Pada tahun 2021 meningkat menjadi 48,17% atau 130,8 juta orang dan pada tahun 2024 menjadi 49,22% atau 137,5 juta orang.
Tauhid mengungkapkan, tekanan biaya yang lebih besar menjadi penyebab menyusutnya kelas menengah. Oleh karena itu, kelas menengah saat ini hanya membelanjakan uangnya untuk makanan.
“Semakin sedikit pengeluaran untuk makanan, semakin baik keadaannya, yang berarti mereka menghabiskan banyak uang untuk pengeluaran non-makanan, yang berarti mereka lebih kaya. Saya pikir ada sebuah perubahan yang tidak mampu mereka lakukan, seperti menutup penundaan pajak dan menunda pembayaran pajak sepeda motor,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center for Economic and Legal Studies (Celios), juga mengungkapkan, menurunnya jumlah kelas menengah disebabkan relatif beratnya beban yang harus mereka tanggung. Dia mencontohkan beban membayar pajak.
“Kontribusi masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah dalam membayar pajak mencapai 85,2%. Contoh kenaikan beban pajak adalah dampak kebijakan PPN dari 10% menjadi 11%, meski tidak tercermin pada kondisi saat ini. inflasi, tapi faktanya semakin mahal membayar masyarakat kelas menengah,” tuturnya.
Selain kebijakan fiskal, Bhima mengatakan pendapatan masyarakat berkurang karena biaya sekolah, terutama pendidikan tinggi, termasuk sewa rumah dan pemasangan mobil.
Faktanya, masyarakat kelas menengah saat ini sedang dilanda pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup besar di berbagai sektor. Menurut Bhima, hal ini turut berkontribusi terhadap menurunnya kelas menengah.
“Kelas menengah, yaitu kelas menengah di atas usia 35 tahun yang terkena PHK, ditampung sementara pada pekerjaan informal seperti membuka toko kelontong, ojol (ojek online) dan kurir, yang pendapatan bulanannya tidak menentu. Semakin rendah kualitas pekerjaannya .peluangnya, semakin banyak kelas menengah yang terpuruk,” tutupnya. (ada/fdl)