Jakarta –
Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) telah menerbitkan paradigma ekonomi baru tentang dukungan fiskal untuk pemulihan perekonomian. Direktur Kebijakan Publik Salios Media Wahyudi Askar mengatakan, jika Indonesia menggunakan model ekonomi restoratif, negara bisa menghasilkan pendapatan yang jauh lebih tinggi dari perpajakan.
Dalam pemaparannya, pendapatan negara setidaknya bisa mencapai Rp222,78-241,62 triliun per tahun. Angka tersebut berasal dari berbagai pajak baru seperti pajak karbon, pajak rejeki nomplok, pajak produksi batu bara, dan pajak orang kaya.
“Kita bicara penerimaan pajak baru, kita usulkan kita hitung sumber-sumber ekonomi yang pulih ini, ini bukan ide baru, kita hitung ulang. Saat ini pajak karbon bisa mencapai Rp 69 triliun per tahun. sederhana,” ujarnya dalam diskusi di Hotel Mercure, Jakarta Pusat, Kamis (25/7/2024).
Lebih jauh sumber pajak tersebut dirinci, yaitu pajak karbon dapat menghasilkan Rp69,75 triliun, pajak sampah Rp42,71 triliun, pajak produksi batu bara Rp28,76 triliun hingga Rp47,59 triliun, dan pajak dari orang kaya 81,56 triliun.
Namun pendapatan tersebut tidak hanya untuk negara saja, melainkan dapat digunakan pemerintah untuk menggenjot seluruh program yang berkaitan dengan rehabilitasi ekonomi. Jadi sumber pendanaannya bukan utang.
“Pendekatan perpajakan yang inovatif ini dapat menjadi pilihan pembiayaan untuk mendukung inisiatif pemulihan tanpa menambah beban utang dan membebani infrastruktur keuangan yang ada,” ujarnya dalam Apa itu Ekonomi Pemulihan?
Ekonomi restorasi merupakan model ekonomi atau pendekatan pembangunan yang mengutamakan kelestarian lingkungan dan sosial. Dalam diskusi tersebut, salah satu hal yang disinggung adalah bagaimana pemerintah juga harus memperbaiki lingkungan, khususnya hutan Indonesia.
Oleh karena itu perhitungan pertumbuhan ekonomi tidak hanya memperhatikan kegiatan pasar seperti ekspor dan impor saja, namun prioritasnya harus diberikan pada perbaikan lingkungan hidup.
Menurut dia, Produk Domestik Bruto (PDB) yang selama ini menjadi acuan pertumbuhan ekonomi sudah tidak relevan lagi dalam perhitungan pembangunan negara. PDB hanya mempertimbangkan aktivitas pasar tetapi tidak melihat bagaimana aktivitas pasar menyebabkan kerusakan lingkungan.
Artinya PDB tidak bisa dimaknai sebagai analisis untuk melihat kemajuan pembangunan, tutupnya.
Lihat juga video ‘Menghitung Dana Permohonan’:
(gbr. adalah)